What's Your Number? Check This Out

Jumat, 21 Desember 2012

TugasKu: Makalah review jurnal (Teratologi) UJI EFEK TERATOGENIK PERASAN RIMPANG KUNYIT PUTIH (Curcuma alba Val.) PADA MENCIT BETINA

MAKALAH TERATOLOGI
UJI EFEK TERATOGENIK PERASAN RIMPANG KUNYIT PUTIH (Curcuma alba Val.) PADA MENCIT BETINA






           Nama        : Diana Putri Hapsari
           NIM          : M0410018


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012




BAB I
PENDAHULUAN

            Obat tradisional biasanya digunakan masyarakat untuk mengobati penyakit yang diderita. Pengobatan tradisional merupakan salah satu upaya pengobatan dan atau perawatan lain di luar ilmu kedokteran dan perawatan. Pengobatan tradisional sendiri dikenal mujarab dalam mengobati berbagai penyakit. Salah satu tanaman obat yang biasa digunakan adalah kunyit putih atau Curcuma alba Val. Rimpang kunyit putih banyak mengandung berbagai komponen kimia, antara lain minyak atsiri, tumerik, germakron, puranodienon, dan kurkumenon yang diduga dapat menimbulkan efek teratogenik, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkan sel kanker terutama kanker payudara dan leher rahim. Umumnya kerja dari obat anti kanker berdasarkan atas gangguan salah satu proses sel yang efisiensial karena tidak ada perbedaan kualitatif antara sel kanker dengan sel normal. Di dalam jurnal ini akan meneliti rimpang kunyit putih apakah mempunyai efek teratogenik pada fetus mencit saat masa organogenesis, dimana perasan rimpang kunyit putih digunakan sebagai obat anti kanker.




BAB II
ISI

  1. Metode Penelitian
1.      Penyiapan bahan penelitian
Rimpang kunyit putih dibersihkan dan dicuci dengan air, kemudian dipotong kecil-kecil dan diperas dengan alat juicer. Perasan dipisahkan dengan ampasnya, lalu ditimbang masing-masing  2gr, 4gr, 6gr dan 8gr yang kemudian semua ditambahkan air suling sampai dengan 100 ml agar memperoleh konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8%.
2.      Penyiapan hewan uji
Hewan uji yang digunakan yaitu mencit betina dan jantan dewasa yang sehat dan subur, berumur 2 – 3 bulan dengan berat badan 20 – 30 gram. Kemudian mencit dibagi menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor betina dan 3 ekor jantan. Mencit betina yang ositif bunting digunakan untuk penelitian.
3.      Pemeriksaan apus vagina
Pipet yang berujung halus diisi dengan 2-3 tetes air suling, kemudian ujung pipet dimasukkan ke dalam saluran vagina, lalu disemprotkan dan dihisap kembali dengan beberapa kali pengulangan. Air yang mengandung sekret vagina ditetesi dengan 1 tetes metilen blue 0,1%. Setelah itu periksa dibawah mikroskop 10x10.  Jika terdapat sel epitel berinti maka mencit berada pada fase estrus dan siap dikawinkan.
4.      Pengawinan mencit
Mencit betina ditimbang untuk mengetahui berat badan awalnya, lalu dicampurkan dengan mencit jantan selama ±24 jam dengan perbandingan 5:3.  Setelah 24 jam, dilihat pada vagina mencit betina ada tidaknya sisa sperma, jika terdapat sisa sperma diperkirakan bahwa mencit tersebut telah kawin, lalu ditempatkan pada kandang lain.

5.      Pemberian sediaan uji
Hari pertama kebuntingan diperkirakan pada saat mencit betina dinyatakan positif bunting. Pada hari ke-7, semua mencit ditimbang satu per satu dan dipilih 5 ekor mencit yang telah bunting untuk diberi perlakuan. Awalnya mencit dipuasakan selama 3-4 jam dan diberi perasan rimpang kunyit putih per oral sesuai dosisnya, sekali setiap hari dari hari ke-7 sampai hari ke-13 sesuai dengan konsentrasi masing-masing, kemudian dihentikan pada hari ke-18.
6.      Pembedahan mencit betina dan pemeriksaan fetus
Awalnya mencit ditimbang satu per satu untuk mengetahui berat badan akhirnya. Kemudian dibius dengan eter dan diletakkan pada papan bedah. Bedah di bagian dada ke arah anus, kulit dibuka ke samping hingga isi perut terlihat. Bagian uterus dikeluarkan dengan menggunting ujungnya dan fetus dimasukkan ke larutan NaCl 0,9%. Jumlah fetus pada uterus kanan dan kiri dikeluarkan dengan menggunting kulit uterus secara hati-hati. Dihitung jumlah fetus yang mati dan hidup dan ditimbang satu per satu. Semua fetis kemudian dimasukkan dalam vial dan diberi larutan Bouin dengan perbandingan 5:1. Fetus dibiarkan selama 30 menit, lalu dibilas dengan air dingin dan dilakukan pemeriksaan terhadap mata, telinga, kaki, tengkorak, ekor dan lain-lain yang dianggap abnormal dibandingkan dengan kontrol.
  1. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.      Hasil
Total fetus dan berat rata-ratanya yang ditemukan pada konsentrasi 0%-2% tidak jauh berbeda, sedangkan semakin tinggi konsentrasinya semakin berkurang jumlah fetus dan berat rata-ratanya. Pada konsentrasi 6% jumlah fetus yang mati yaitu 2, sedangkan pada konsentrasi 8% jumlah fetus yang mati yaitu 8 dan pada konsentrasi 0%-4% tiidak ditemukan adanya fetus yang mati. Abnormalitas pada anatomi luar, konsentrasi 0%-2% fetus tidak terjadi abnormalitas. Pada konsentrasi 4% terdapat abnormalitas pada kaki. Pada konsentrasi 6% terdapat abnormalitas pada mata, telinga dan ekor. Pada konsentrasi 8% terdapat abnormalitas pada mata, telinga, kaki dan ekor. Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan, maka semakin banyak pula abnormalitas yang terjadi.
2.      Pembahasan
Jumlah fetus ditemukan berbeda karena adanya penyusutan fetus tanpa bekas dan adanya pengaruh aborsi maupun pemberian dosis teratogen yang berlebihan. Hubungan antara penurunan berat badan dengan bertambahnya konsentrasi sangat erat, karena makin tinggi konsentrasi semakin mempengaruhi pembelahan sel fetus sehingga frekuensi pembelahan sel menurun yang berakibat menurunnya berat fetus.
Jika dosis teratogen terlampaui maka akan menyebabkan matinya sel yang juga menyebabkan kematian embrio dan dapat pula disebabkan oleh zat-zat yang mengganggu replikasi, transkripsi DNA yang dapat menyebabkan kematian se yang disebabkan oleh kerusakan DNA.
Konsentrasi 2% dan 4% diketahui belum mampu memberikan pengaruh pada mata, telinga dan ekor. Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan menimbulkan seringnya terjadi cacat pada mata, telinga kaki dan ekor. Persentase kecacatan yang tertinggi terdapat pada mata. Cacat mata yang terjadi adalah tidak adanya kelopak mata dan mengecilnya bola mata. Cacat pada telinga yaitu tidak terbentuknya telinga dengan sempurna. Tipe cacat lain yang ditemukan antara lain leher kecil, bentuk kepala yang tidak sempurna serta kaki pendek dan mengecil.

BAB III
KESIMPULAN

Pemberian perasan rimpang kunyit putih dengan konsentrasi 2% - 8%  menyebabkan efek teratogenik pada fetus dengan mempengaruhi pembelahan sel fetus. Cacat mata sering terjadi seiring dengan meningkatnya konsentrasi yang diberikan. Semakin tinggi konsentrasi perasan kunyit putih yang diberikan, maka semakin berkurang pula berat badan fetus.

TugasKu: proposal penelitian (Metodologi Penelitian) UJI TERATOGENIK EKSTRAK DAUN MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP PERKEMBANGAN MENCIT

PROPOSAL PENELITIAN
UJI TERATOGENIK EKSTRAK DAUN MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP PERKEMBANGAN MENCIT



 


Oleh:
Diana Putri Hapsari
M0410018



JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012




BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Phaleria macrocarpa atau sering dikenal dengan mahkota dewa merupakan salah satu obat herbal yang diketahui sebagai obat anti kanker. Mahkota dewa pada masyarakat umum digunakan sebagai obat untuk menghilangkan kanker di dalam tubuh. P. Macrocarpa mengandung beberapa senyawa kimia, antara lain flavonoid, saponin, resin, alkaloid, tanin dan polifenol, maka dari itu mahkota dewa sangat berpotensial dalam bahan pembuatan obat anti kanker.
Saponin diklasifikasikan berdasarkan struktur aglikon ke dalam triterpenoid dan dan steroid saponin, dimana kedua senyawa tersebut mempunyai efek anti inflamasi, analgesik dan sitotoksik. Sehingga mahkota dewa bersifat sitotoksik karena mengandung saponin menyebabkan teratogenesis yang bukan hanya menyerang sel-sel kanker namun juga menyerang sel-sel normal tubuh. Semakin meningkatnya harga obat dan efek samping dari terapi kanker, menyebabkan masyarakat untuk menggunakan obat anti kanker dari alam.
  1. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana mekanisme teratogenesis kandungan daun mahkota dewa pada perkembangan eksternal dari fetus mencit?
2.      Efek teratogenik apa saja yang terjadi pada fetus mencit yang diberi perlakuan?
  1. Tujuan Penelitian
1.      Mengetahui mekanisme teratogenesis kandungan daun mahkota dewa pada perkembangan eksternal dari fetus mencit
2.      Mengetahui bentuk-bentuk efek teratogenik pada fetus mencit yang diteliti

  1. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini dapat memberikan informasi tentang mekanisme kandungan daun mahkota dewa sebagai obat anti kanker mampu menyebabkan efek teratogenik pada fetus hewan bunting atau pun keturunan dari ibu hamil yang mengkonsumsi daun mahkota dewa. Selain itu, pembaca dapat mengetahui pula mekanisme jelas dari kandungan daun mahkota dewa pada perkembangan eksternal dari keturunan yang dihasilkan.


BAB II
LANDASAN TEORITIS

  1. Tinjauan Pustaka
Mahkota dewa atau Phaleria macricarpa L. merupakan tanaman yang semakin diminati oleh masyarakat, karena dapat menyembuhkan luka, diabetes, lever, flu, alergi, sesak napas, desentri, penyakit kulit, jantung, ginjal, darah tinggi, asam urat, penambah stamina, ketergantungan narkoba (Rohyami, 2008). Namun sekarang ini mahkota dewa sedang diteliti sebagai bahan dari obat anti kanker.
Menurut Sumastuti 2002 dalam jurnal Rohyami, daun dan buah mahkota dewa mengandung saponin dan flavonoid yang mempunyai efek histamin. Mahkota dewa memberikan efek terhadap uterus, egek sitotoksik pada sel kanker rahim, efek hipoglikemik, hepatoprotektor, anti inflamasi, histopatologik pada hati, ginjal, ovarium, lambung, uterus, pankreas dan anti bakteria (Rohyami, 2008).
Kanker adalah salah satu penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel tidak terkendali (Muna, dkk 2009). Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia setelah penyakit kardiovaskuler. Menurut Harkness 1989 dalam jurnal Muna, pertumbuhan yang tidak terkendali dari sel kanker dapat mendesak sel-sel normal yang ada disekitarnya, karena sel kanker dapat bermetastasis ke bagian tubuh lain (Ganiswara 2001; Foye 1996; Muna, dkk 2009).
Obat anti kanker atau sitostatiska adalah obat yang dapat menghentikan pertumbuhan sel-sel ganas atau bahkan dapat membunuh sel-sel normal (Tjay dan Rahardja 2002; Muna, dkk 2009). Obat anti kanker bersifat teratogenik dan tidak hanya berpengaruh pada sel-sel kanker, akan tetapi dapat mempengaruhi sel-sel normal (Foye 1996; Ganiswara 2001; Muna, dkk 2009).
Dengan metode BSLT ataupun terhadap cancer cell line pada leukimia menunjukkan adanya potensi pada toksisitas dan penghambatan pada tumbuhnya sel kanker. Mekanisme penghambatan mahkota dewa belum diketahui secara pasti, tetapi penelitian dengan metode chorio alantoic membrane (CAM) yang terinduksi bFGF memperlihatkan adanya penghambatan angiogenesis atau pembentukan pembuluh darah baru pada tumor yang terbentuk (Syukri, dkk 2008).
Obat anti kaker dimanfaatkan bagi semua penderita  kanker tidak terkecuali bagi wanita hamil, sedangkan wanita hamil sangat rentan terhadap obat-obatan terutama pada masa organogenesis (Muna, dkk 2009). Salah satu obat yang tidak boleh dikonsumsi oleh wanita hamil adalah obat anti kanker. Dikarenakan obat anti kanker mampu menghentikan pembelahan sel (Nogrady 1992; Muna, dkk 2009) dan obat yang sampai ke janin bisa menyebabkan keguguran, malformasi dan kematian pada janin (Suryani 1990; Muna, dkk 2009).
            Muna (2009) telah melakukan penelitian dengan menggunakan tanaman Pandanus conoideus pada perkembangan terhadap perkembangan fetus tikus putih, dimana dihasilkan bahwa P. conoideus yang merupakan salah satu tanaman yang berperan dalam anti kanker dapat menyebabkan berbagai kelainan bentuk, perubahan morfometri pada fetus, kematian, hambatan pertumbuhan, kelainan pada tulang dan hambatan osifikasi.
            Syukri, dkk (2008) juga telah melakukan penelitian tentang mahkota dewa yang memiliki aktivitas anti karsinogenesis. Dihasilkan bahwa ekstrak etanol daging buah mahkota dewa memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi obat anti kanker.


  1. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka maka dapat dinyatakan hipotesis sebagai berikut:
1.      Ekstrak daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) dapat menyebabkan efek teratogenik pada janin.
2.      Mahkota dewa dapat digunakan sebagai bahan dalam obat anti kanker karena memiliki komponen kimia karena mampu menghentikan pembelahan sel.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

  1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium jurusan biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2013 sampai dengan Maret 2013.
  1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen di laboratorium, dengan langkah sebagai berikut:
1.      Penyiapan hewan uji dan pembagian kelompok hewan uji ke dalam kelompok perlakuan.
2.      Pembuatan ekstrak daun mahkota dewa.
3.      Penentuan dosis pada setiap kelompok perlakuan.
4.      Perlakuan hewan uji
5.      Pengumpulan data
6.      Menganalisis data
  1. Sample
Sample yang digunakan adalah hasil ekstraksi dari daun mahkota dewa, dimana daun mahkota dewa diambil secara segar dari dusun Ngijo, desa Giriwondo, Kecamatan Jumapolo, Kabupaten Karanganyar.
  1. Alat dan Bahan
1.      Alat Penelitian
a.       Mikroskop cahaya
b.      Gelas benda
c.       Gelas penutup
d.      Pisau atau cutter
e.       Kain hitam
f.       Kamera digital
g.      Kertas saring
h.      Gelas pengaduk
i.        Sendok
j.        Gelas beker
k.      Timbangan analitik
l.        Pipet tetes
m.    Peralatan bedah
n.      Penggaris
o.      Mikroskop stereo
p.      Blender
q.      Wadah kaca/ toples kaca
2.      Bahan Penelitian
a.       Mencit betina
b.      Mencit jantan
c.       Minyak wijen
d.      Aquades
e.       Neural Red
f.       Allizarian red-S
g.      Alcian blue
h.      Alkohol 95%
i.        Aseton
j.        Larutan KOH 1%
k.      Gliserin 50%
l.        Gliserin 80%
m.    Gliserin 100%
n.      Methanol
  1. Prosedur Penelitian
1.      Pra-Perlakuan
a.       25 mencit betina dewasa dengan berat rata-rata 200 gram pada siklus estrus disatukan dalam kandang dengan 10 mencit jantan.
b.      Pada hari berikutnya, mencit betina diperiksa vagina plug (sumbat vagina), apabila terdapat vaginal plug atau setelah dilihat secara mikroskopis dengan metode apus vagina dan terdapat spermatosoa maka hari itu dihitung sebagai hari pertama kebuntingan.
c.       Mencit betina dipisahkan dari mencit jantan.
d.      Mencit betina dikelompokkan menjadi 5 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 5 mencit betina.
2.      Persiapan Hewan Uji
a.       Mencit betina bunting yang berumur 2,5 bulan dengan berat rata-rata 200 gram dipelihara di dalam kandang.
b.      Masing-masing kandang berisi 5 mencit dengan kelompok perlakuan sama.
c.       Sebelum digunakan untuk penelitian mencit diaklimatisasi dahulu selama 4 hari, diberi makan dan minum.
3.      Ekstraksi
a.       Dipilih daun mahkota dewa yang tidak terlalu tua ataupun terlalu muda, lebih baik daun yang terletak dari puncak urutan ke-4
b.      Daun dicuci dan dikeringkan, kemudian dijemur dibawah sinar matahari dengan ditutup kain hitam. Jika belum dapat kering dengan sempurna, daun dapat dimasukkan oven dengan suhu 50oC sampai daun mudah dihancurkan.
c.       Daun dihancurkan dengan menggunakan blender sampai berbentuk serbuk.
d.      Proses ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode maserasi, dimana serbuk daun mahkota dewa dimasukkan ke dalam wadah kaca tertutup, kemudian ditambahkan larutan penyaring berupa methanol.
e.       Didiamkan selama 24 jam pada suhu kamar.
f.       Setelah 24 jam, dilakukan penyaringan dan penggantian larutan dengan methanol yang baru. Lalu diaduk dan didiamkan selama 24 jam lagi. Penggantian larutan dilakukan selama 3 hari setiap 24 jam dengan sesekali dilakukan pengadukan.
g.      Setelah 3 hari, lalu dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring untuk memisahkan filtrat dan residu.
h.      Diproses dengan rotary evaporator agar pelarut menguap, sehingga didapatkan hasil yang pekat.
4.      Penentuan Dosis Pemakaian
Dosis dibuat dengan perhitungan X/200 gram (200 gram: berat badan mencit)= 15 mL/70 kg (dosis pada manusia) > X = 0,043 mL = 0,04 mL. Penentuan dosis berdasarkan dari penelitian Pratiwi (2009) dalam jurnal Muna (2009) yang menggunakan ekstrak dengan konsentrasi 0,03125 mL terhadap sel kanker payudara T47D. Pada penelitian tersebut pada konsentrasi itu belum mampu membunuh semua sel kanker payudara T47D. Menggunakan 1 mL minyak wijen pada kontrol, menurut Mun’im (2006) dalam jurnal Muna (2009) tidak menunjukkan kelainan pada fetus.
5.      Perlakuan Hewan Uji
a.       Sebelumnya semua mencit ditimbang untuk mengetahui bobot awal.
b.      Pemberian ekstrak pada masing-masing kelompok perlakuan secara oral mulai hari ke-5 sampai hari ke-17 dari kebuntingan secara berturtu-turut.
c.       Pada hari ke-18 sebelum dibedah ditimbang bobot mencit tersebut untuk mendapatkan bobot akhir, kemudian dibedah.
d.      Pengamatan dilakukan dengan mengambil fetus dari uterus, kemudian dibersihkan dari selaput plasenta dan lendir yang menyelimutinya. Pengamatan eksternal fetus diawali dengan menghitung dan mencatat jumlah implantasi yang terdiri jumlah fetus yang mati, dan jumlah fetus yang resorbsi.
e.       Dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran panjang badan, dan pengamatan morfologi fetus yang meliputi: bentuk tubuh, jumlah ekstremitas, tengkorak, ekor, dan lain-lain yang dianggap abnormal.
f.       Dilakukan pengamatan internal pada sistem skeleton (bentuk tulang, jumlah tulang dan hasil proses penulangan). Untuk pengamatan struktur skeleton fetus dibuat sediaan wholemount dengan metode pewarnaan ganda Allizarin red-S dan Alcian blue (Inouye 1976; Muna 2009). Proses pembuatan preparat wholemount sebagai berikut: fetus difiksasi ke dalam alkohol 95% selama 3 hari. Dilakukan viscerasi, yaitu proses pembuangan kulit, jaringan lemak dan organ-organ dalam fetus, harus dilakukan secara hati-hati agar fetus tidak rusak atau posisi anggota tubuh fetus tidak berubah. Fetus mencit dimasukkan dalam aseton selama 1 hari untuk melarutkan lemak. Fetus diwarnai menggunakan pewarna ganda yaitu Allizarin red-S dan Alcian blue selama 1-3 hari pada suhu 37oC. Fetus dicuci dengan air mengalir beberapa kali sampai bersih. Fetus dijernihkan dengan larutan KOH 1% dalam air selama 2 hari sampai jaringan yang membungkus tubuhn menjadi transparan dan yang berwarna merah atau biru hanya pada jaringan tulang. Fetus dipindahkan ke dalam larutan gliserin 20% dalam KOH 1% selama 1-4 hari. fetus dimasukkan secara berturut-turut dalam larutan gliserin 50% dan 80% dalam KOH 1% masing-masing selama 1 jam, lalu disimpan dalam gliserin 100% untuk kemudian dilakukan pengamatan. Pengamatan hasil osifikasi didasarkan pada penyerapan zat warna pada kerangka. Tulang sejati yang normal akan berwarna merah dan tulang yang pertumbuhannya terhambat akan berwarna biru atau tidak terwarnai oleh Allizarin red-S. Pemotretan fetus dilakukan pada saat pengamatan abnormalitas, baik eksternal (kelainan morfologi, hemoragi, dan resorbsi) maupun internal (kelainan hasil osifikasi) menggunakan kamera digital.
6.      Pengumpulan Data
Data kuantitatif didapatkan dengan melakukan pengamatan jumlah implantasi yang terdiri dari jumlah fetus hidup, jumlah fetus mati, berat fetus, panjang badan fetus. Sedangkan data kualitatif didapatkan dari pengamatan morfologi fetus (mata, telinga, ruas jari, tengkorak, ekor dan lain-lain yang dianggap abnormal) dan sistem skeletonnya (bentuk tulang, jumlah tulang, dan hasil proses penulangan).
  1. Teknik Analisi Data
Data kuantitatif dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA) satu jalur dengan taraf signifikansi 5% untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan. Jika dari analisis varian didapatkan hasil yang signifikan, untuk mengetahui letak perbedaan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT). Untuk pengamatan abnormalitas eksternal dan internal (kelainan hasil osifikasi) dilakukan analisis secara deskriptif.

DAFTAR PUSTAKA
Muna, Lintal, Okid Parama Astirin dan Sugiyarto. 2009. Uji Teratogenik Ekstrak Pandanus conoideus Variatus Buah Kuning terhadap Perkembangan Embrio Tikus Putih (Rattus norvegicus). Bioteknologi, 8 (2): 65-77.
Rohyami, Yuli. 2008. Penentuan Kandungan Flavonoid dari Ekstrak Metanol Daging Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa Scheff Boerl). Jurnal Penelitian & Pengabdian, 5 (1).
Simanjuntak, Partomuan. 2008. Identifikasi Senyawa Kimia dalam Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa), Thymelaceae. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 6 (1): 23-28.
Syukri, Yandi dan Saepudin. 2008. Aktivitas Antikarsinogenesis Ekstrak Etanol Daging Buah Mahkota Dewa pada Mencit yang Diinduksi 7,12-Dimetilbenz(a)antrasena. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 6 (2): 63-67.